Jakarta -Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) membandingkan pembangunan mal di Indonesia dengan Hong Kong. Secara jumlah, kedua wilayah tersebut memiliki mal yang hampir sama namun keduanya punya luas yang jauh berbeda.
Ketua Dewan Pembina APPBI Stefanus Ridwan mengatakan tanah masih menjadi kendala klasik bagi investor yang ingin membangun mal di Indonesia. Selain itu, ada beberapa faktor lain seperti kebijakan lokal di daerah yang membatasi dan melarang pembangunan mal hingga faktor sosial.
"Kita punya 250 mal, Hong Kong yang luas wilayahnya kecil sudah punya lebih dari 200 mal. Hong Kong itu satu negara wilayahnya kecil masa jumlah mal nya sama dengan kita," kata Ketua Dewan Pembina APPBI Stefanus Ridwan kepada detikFinance, Selasa (13/5/2014)
Ia mencontohkan faktor harga tanah terhadap pembangunan mal di kota besar seperti Jakarta. Kenaikan harga tanah di Jakarta, menurut Ridwan sudah naik tajam terutama di kawasan-kawasan premium.
"Harga tanah semakin liar, naiknya luar biasa aneh. Beberapa tahun terakhir ini naiknya nggak wajar dari Rp 15-16 juta/meter persegi sekarang Rp 85 juta/meter persegi," katanya.
Sebagai gantinya, para pengembang lebih memilih sektor properti seperti hunian vertikal sebagai alternatif bisnis yang diambil di tengah mahalnya harga tanah di Jakarta. Sektor hunian vertikal seperti apartemen lebih menguntungkan dibandingkan berinvestasi membangun mal.
"Mal di Indonesia sekarang ini agak lesu, pengusaha nggak semangat bangun karena harga tanah mahal. Untung membangun mal sedikit lebih enak membangun superblok seperti apartemen dan office itu masih ada untung," imbuhnya.
Menurutnya Jakarta masih menjadi kawasan pembangunan mal terbanyak di Indonesia, dari 250 mal sebanyak 76 ada di Jakarta. Namun sejak 2012 pemerintah DKI Jakarta telah menghentikan sementara izin pembangunan mal baru di ibu kota. (detik.com)