Jakarta -Subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang selalu diberikan pemerintah menyebabkan perekonomian menjadi tidak pasti. Ketika beban fiskal sudah terlalu berat, pemerintah bisa sewaktu-waktu menaikkan harga BBM bersubsidi. Ini menyebabkan risiko lonjakan inflasi selalu ada sehingga suku bunga tetap tinggi.
Agus Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia (BI), mengatakan suku bunga mencerminkan kondisi inflasi. Ketika ada kepastian ekonomi, maka inflasi akan terkendali dan berimbas ke suku bunga rendah.
"Tidak ada insan yang menginginkan tingkat bunga yang tinggi. Tapi yang membuat tinggi itu adalah tingkat inflasi," kata Agus dalam peluncuruan Mandiri Institute di Hotel Four Seasons, Kuningan, Jakarta, Senin (12/5/2014).
Inflasi saat ini memang cukup terkendali. Bahkan lebih baik, bila dibandingkan sebelum 2012 yang selalu berada di atas 6%.
Namun, tetap saja ada risiko lonjakan inflasi dan itu disebabkan harga BBM bersubsidi. Misalnya pada 2013, di mana inflasi diperkirakan hanya sekitar 4,5%. Namun realisasinya dua kali lipat dari itu, karena pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi.
"Indonesia memberikan subsidi BBM dan listrik yang besar. Setiap kali saat fiskal tertekan, diambil kebijakan mengurangi subsidi dengan kenaikan harga. Itu membuat inflasi tinggi," tegasnya.
Oleh karena itu, perlu ada kebijakan agar subsidi BBM tidak menjadi risiko atau momok yang selalu menghantui pelaku ekonomi setiap tahunnya. Perlu ada reformasi kebijakan subsidi.
Akan tetapi, Agus mengakui bahwa mengurangi subsidi bukanlah kebijakan yang mudah. Dia mencontohkan tahun lalu ketika pemerintah menaikkan harga BBM. Langkah itu membutuhkan proses yang cukup panjang.
"Sampai akhirnya kebijakan itu telat, dan baru terealisasi pada pertengahan 2013. Padahal harusnya sudah terjadi sejak tahun 2012," ungkapnya. (detik.com)