Jakarta - Penanganan dampak krisis ekonomi global oleh pemeirntah dinilai terlambat. Saat pemerintah Indonesia mengeluarkan langkah penangananan dan pencegahan, ekonomi RI sudah terkena dan berada dalam krisis.
"Antisipasi krisis sudah terlambat. Kita sudah dalam krisis. Jangan bayangkan krisis 97/98 atau 2008 sama. Ini krisis berbeda. Sekarang kita krisis neraca pembayaran yang disebabkan defisit," ucap Ekonom EC-Think Iman Sugema pada acara Ngopi Bareng Akuntan yang diadakan IKI di Kopitiam Plaza Sarinah Jakarta, Kamis (24/10/2013).
Menurutnya krisis ekonomi yang terjadi saat ini lebih disebabkan defisit neraca pembayaran. Aliran uang ke luar negeri lebih tinggi dibandingkan arus uang masuk ke dalam negeri.
"Neraca pembayaran mengalami defisit. Arus uang ke luar lebih banyak ke luar daripada ke dalam. Kita akumulasi kewajiban jangka panjang, ini hot money," sebutnya.
Pada kesempatan ini, krisis yang sedang menghampiri Indonesia bisa saja dikurangi dampaknya. Namun membutuhkan waktu tidak sebentar karena masih adanya defisit neraca pembayaran. Iman pun menyampaikan beberapa solusi jangka pendek agar RI, secara bertahap lepas dari krisis.
"Perusahaan asing yang lama bercokol di Indonesia untuk mereinvest kembali daripada mencari investor baru. Kedua berpikir long term siapkan ekonomi Indonesia yang lebih kompetitif. Minimal kita punya framework 5-25 tahun ke depan," sebutnya.
Di tempat sama, Anggota DPR Komisi XI Achsanul Qosasi menjelaskan dampak krisis ekonomi global karena dua faktor. Faktor pertama menyangkut arus keuangan dan perdagangan.
"Saya mau menggambarkan dari teman-teman. Dari mana krisis masuk ke Indonesia? Dia masuk dari 2 jalur. Dari jalur perdagangan dan keuangan," sebutnya.
Menurutnya dampak krisis masih terasa dalam kurun waktu lima tahun ke depan.
"3-5 tahun ke depan masih seperti ini. Kami minta dolar ditetapkan Rp 10.500-Rp 11.000. Itu harus kita jaga. Nggak mungkin dolar di bawah Rp 10.000," sebutnya.
Namun untuk penanganan krisis diperlukan protokol atau payung hukum. Menurutnya undang-undang Jaring Pengamanan Sistem Keuangan (JPSK) dibutuhkan untuk penanganan dampak krisis dalam waktu singkat. Di sana diatur siapa saja yang bertanggungjawab menangani krisis dan tindakan apa yang harus dilakukan.
"Kita membutuhkan protokol saat penanganan krisis. Ini ada UU JPSK. Dulu bisa menghindar. Itu BI salah Kemenkeu, Kemenkeu bilang salah DPR. Karena nggak ada payung hukum. Maka diperlukan UU JPSK. Ini payung hukum seperti UU BPJS. Ini baru selesai 2014," jelasnya. (detik.com)