Jakarta - Sampai saat ini, Indonesia masih ketergantungan impor garam dari India, Amerika Serikat (AS), dan Australia. Jumlah garam yang diimpor untuk kebutuhan industri mencapai 1,6 juta ton/tahun. Kapan Indonesia bisa bebas impor garam?
"Butuh waktu panjang untuk penuhi kebutuhan garam dalam negeri sebesar 3 juta ton," tutur Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron saat berdiskusi dengan media di Gedung Kementerian Kelautan dan Perikanan Jakarta, Selasa (25/03/2014).
Menurut Herman, rata-rata kebutuhan garam Indonesia per tahun mencapai 3 juta ton. Di mana kebutuhan garam konsumsi mencapai 1,4 juta dan kebutuhan garam industri mencapai 1,6 juta. Sementara itu produksi rata-rata per tahun garam Indonesia hanya mencapai 1,3-1,4 juta ton.
Kondisi keterbatasan lahan produksi garam saat ini, membuat pertumbuhan produksi garam per tahun maksimal hanya mencapai 100.000 ton. Sementara itu lahan garam yang tersisa hanya mencapai 31.000-37.026 hektar.
"Kalau kenaikan produksi garam hanya 100.000 ton/tahun dengan keterbatasan lahan maka ya itu butuh waktu yang panjang," imbuhnya.
Faktanya Indonesia sekarang hanya mampu untuk berswasembada garam konsumsi. Namun untuk kebutuhan garam industri seperti pertambangan dan tekstil, Indonesia masih mengimpor 100% garam dari negara lain. Kebutuhan garam untuk sektor industri setiap tahun mencapai 1,6 juta ton.
Sementara itu Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pengembangan Usaha Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Riyanto Basuki mengatakan, pemerintah berusaha keras untuk memenuhi seluruh kebutuhan garam baik konsumsi maupun industri di dalam negeri. Dengan penggunaan teknologi dan efektifitas lahan garam yang tertidur, ditargetkan di tahun 2019 Indonesia sudah bisa berswasembada garam.
"Tekad kita di tahun 2019 swasembada garam konsumsi dan industri bisa tercapai. Dari 31.000 lahan garam yang ada saat ini, yang kena program Pugar (Pengembangan Usaha Garam Rakyat) hanya 24.000-26.000 hektar. Sisanya memang belum tersentuh sampai ke sana. Sebanyak 31.000 itu belum semua intensif menjadi lahan garam. Kita revitalisasi lahan setengah tidur menjadi lahan yang efektif," jelasnya.
Riyanto mengatakan, kualitas garam yang dihasilkan di Indonesia masih cukup rendah. Bahkan kualitas garam yang dihasilkan tidak sesuai dengan spesifikasi garam untuk industri. Meskipun produktifitas garam di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, namun dengan kualitas yang rendah industri tanah air masih menolak garam lokal.
"Kalau kualitas garam lokal tidak bisa terpenuhi khususnya untuk sektor industri, mereka (pelaku industri) tidak mau menerima garam petani," ungkap Riyanto.
Dia menjelaskan, spesifikasi kebutuhan garam industri antara lain kandungan NaCl di atas 97%, kadar Ca dan Mg di bawah 400 ppm. Spesifikasi tersebut yang belum bisa dipenuhi garam lokal sehingga untuk garam industri 100% masih diimpor. Garam rakyat yang tidak memenuhi spesifikasi akan merusak peralatan dan maintenance menjadi tinggi, karena kadar Magnesium (Mg) yang relatif tinggi di samping kadar NaCl nya yang masih rendah.
"Oleh karena itu peningkatan kualitas garam lokal penting agar garam rakyat dapat diterima dan diterima sektor industri," imbuhnya.
Salah satu yang menjadi masalah rendahnya kualitas garam lokal adalah pengetahuan yang minim oleh para petani. Dinilai dirinya petani di Indonesia terlalu terburu-buru memanen garam saat musim panen terjadi.
"Garam rakyat perlu ditingkatkan kualitasnya. Pada saat produksi seharusnya mereka (petani) menunggu pada ketebalan garam tertentu. Petani kita terlalu terburu-buru. Inilah yang kita perlu pemberdayaan dan pengertian kepada mereka. Kualitas garam kita menjadi lebih bagus dan banyak," jelas Riyanto. (detik.com)