korea by dewanti

Wednesday, December 4, 2013

Inflasi Aman, BI Rate ke Mana?

Bisnis.com, JAKARTA—Pertanyaan yang kerap muncul pascapengumuman inflasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu bagaimana Bank Indonesia akan merespons laporan tersebut dalam sebuah kebijakan moneter.
Seperti diketahui, awal pekan ini BPS telah mengumumkan laju kenaikan harga secara umum untuk November 2013 sebesar 0,12% atau lebih rendah dibandingkan dengan posisi bulan sebelumnya 0,09%.
Meskipun terlihat rendah, secara tahunan, inflasi November 2013 itu mencapai 8,37% atau jauh lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi year-on-year bulan yang sama pada 2012 sebesar 4,32%.
Dengan potret inflasi tersebut, BPS memperkirakan tingkat inflasi sepanjang tahun ini bisa bawah 9%. Perhitungan ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan target inflasi pemerintah sebesar 9,2%.
Berdasarkan proyeksi itu, apakah laju inflasi itu akan membuat bank sentral kembali merespons dengan kenaikan BI rate lanjutan dalam Rapat Dewan Gubernur pada 12 Desember mendatang?
Tentu saja, jawaban pertanyaan ini tersebut tergantung dari beberapa pertimbangan otoritas moneter. Yang jelas, dalam berbagai kesempatan rapat dewan gubernur, BI selalu menyebut kebijakan kenaikan BI rate akan ditujukan untuk menekan defisit transaksi berjalan di tengah risiko ketidakpastian global.
Langkah itu sejalan dengan sasaran BI guna meredam laju inflasi dan menjaga stabilitas rupiah. Untuk laju inflasi, kebijakan penaikan BI Rate yang sudah berada di level 7,5% sepertinya mampu menyerap kelebihan likuiditas, namun terhadap stabilitas rupiah masih perlu dipantau efektivitasnya.
Pasalnya, mata uang rupiah perlahan tapi pasti terus melemah dan kemarin kian mendekati Rp12.000 per US$.
Memang, pelemahan terhadap dolar AS dalam beberapa waktu terakhir dapat menolong kinerja ekspor sampai akhir tahun. Melemahnya rupiah juga akan mendorong eksportir, terutama yang mengandalkan bahan baku dari dalam negeri untuk meningkatkan volume ekspor.
Namun, Kementerian Perdagangan mengingatkan pelemahan rupiah jangan hanya dilihat dari sisi ekspor karena Indonesia masih memiliki ketergantungan impor. Dependensi itu meliputi impor atas bahan baku penolong dan barang modal.
Dengan begitu, imported inflation perlu mendapat perhatian BI karena masih adanya komponen inflasi yang tertunda. Permintaan yang tinggi atas dolar hingga akhir tahun juga berpotensi menambah beban neraca transaksi berjalan.
Di samping faktor internal, pertimbangan lain yang bank sentral adalah tapering off Federal Reserve yang diyakini akan dieksekusi pada awal bulan ini, Meskipun belum jelas apakah akan stimulus the Fed itu akan ditarik bertahap atau sekaligus, kebijakan ini menjadi momok emerging countries yang mengandalkan capital inflow seperti Indonesia.
Bagaimanapun, rezim suku bunga tinggi memiliki konsekuensi terhadap perlambatan pertumbuhan. Situasi inilah yang mesti diantisipasi pemerintah secara seimbang.
Menarik menyimak pernyataan Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Firmanzah dalam laman resmi Sekretaris Kabinet bahwa perlambatan pertumbuhan 2013 justru merupakan opsi terbaik untuk merespons dinamika ekonomi global.
Menurutnya, melalui perlambatan pertumbuhan, stabilitas perekonomian nasional dapat terus ditingkatkan dan menghindari risiko pemanasan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tinggi dalam beberapa tahun terakhir telah mendorong tingginya daya beli masyarakat sehingga tingkat permintaan semakin meningkat.
Kalau begitu adanya, pemerintah semestinya perlu melakukan perombakan struktural guna mengatasi ketimpangan dengan meningkatkan kapasitas ekonomi, menggenjot ekspor, menekan impor dan lebih agresif dalam menarik masuk devisa.
Dengan kata lain, tindakan untuk mengatasi defisit transaksi berjalan tidaklah cukup hanya dengan mengandalkan instrumen moneter.