korea by dewanti

Wednesday, January 22, 2014

Saham Multifinance, Tunggu Momentum Saja

INILAH.COM, Jakarta – Laju saham-saham di sektor pembiayaan dinilai tak merefleksikan kinerja fundamentalnya. Bahkan, saat sentimen berhembus positif sekalipun. Tunggu saja momentumnya!
Reza Priyambada, Kepala Riset Trust Securities mengatakan, secara fundamental tidak ada perubahan yang berarti pada kinerja emiten-emiten di sektor pembiayaan hingga kuartal III-2013. "Memang, ada beberapa yang mengalami peningkatan laba seperti PT Adira Dinamika Multi Finance (ADMF), PT Wahana Ottomitra Multiarha (WOMF), dan PT Tifa Finance (TIFA), tapi tidak signfikan," katanya kepada INILAH.COM.
WOMF, kata dia, meski penjualannya turun, masih memperoleh keuntungan. TIFA juga mengalami peningkatan pendapatan. "Hanya saja, peningkatan yang terjadi tidak terlalu signifikan. Karena itu, secara umum, kinerja saat ini, tidak jauh berbeda dengan kinerja sebelumnya," ujar dia.
Reza mencontohkan faktor kenaikan BI rate ke level 7,5%. "Menurut saya ini tidak akan mempengaruhi kinerja emiten di sektor pembiayaan. Sebab, mereka sudah bekerjasama dengan dealer dan sudah menyiapkan langkah antisipatif terhadap kemungkinan perlambatan laju kredit," tuturnya.
Para emiten pembiayaan, lanjut Reza, melakukan berbagai upaya agar permintaan pembiayaan terutama otomotif tetap ada. "Entah itu melalui program reward atau soal DP yang bisa dicicil atau program-program lain sehingga kredit pembiayaan tetap mendapat perhatian dari masyarakat," ucapnya.
Hanya saja, dia menggarisbawahi, untuk saham-saham di sektor pembiayaan dia melihat tidak banyak pilihan bagi pelaku pasar di bursa saham. "Saham-saham di sektor ini jarang ditransaksikan. Kalaupun terjadi kenaikan, itu bersifat jangka panjang. Artinya, jika sekarang sahamnya naik, besok-lusa belum tentu bergerak lagi," tuturnya.
"Lihat saja saham ADMF yang kenaikannya terjadi jarang-jarang. Begitu juga dengan saham TIFA. Kenaikannya pun tipis hanya 3-4 poin. Berbeda dengan saham-saham di sektor perbankan yang sekali naik langsung 25-50 poin. Saham-saham pembiayaan tidak banyak mengalami pergerakan," kata dia.
Lalu, kalau dilihat dari sisi kapitalisasi pasarnya, yang terbesar adalah ADMF, BFIN, dan CFIN. Secara kapitalisasi, emiten-emiten tersebut cukup besar. "Hanya saja, saham-saham tersebut tidak semuanya likuid," tuturnya.
Kalaupun pelaku pasar ingin masuk ke saham-saham pembiayaan, bisa beli tapi berdasarkan momentum tertentu. "Artinya, beli saham-saham tersebut saat volume transaksinya ramai. Selama belum ada yang memainkan saham-saham pembiayaan dan pelaku pasar memaksakan masuk akan kesusahan. Nunggunya akan lama lagi. Bisa masuk, tapi belum tentu bisa keluar. Kalaupun bisa keluar, pasti harus menunggu lama," papar dia.
Reza mencontohkan, pembelian saham ADMF akhir Desember 2013 di Rp8.000. Awal Januari 2014, belum tentu harganya akan naik. "Jika melihat momentumnya, pada 13 Januari baru mengalami kenaikan ke level tertingginya Rp8.600. Lalu, setelah itu, harga sahamnya tidak mengalami pergerakan, stagnan lagi," ucapnya.
Karena itu, dia menegaskan, bermain saham pembiayaan harus menunggu momentumnya. "Saham mana yang sedang dimainkan pasar pada momen-nya, ya baru bisa kita ikut," tuturnya.
Bahkan, Reza menegaskan, kalaupun kinerja fundamental emiten pembiayaan membaik, itu tidak terefleksikan pada kenaikan harga sahamnya. Artinya, sebagian besar harga saham-saham pembiayaan belum inline dengan pergerakan harga sahamnya. "Di sisi lain, jika terkena sentimen negatif, justru berpengaruh," timpal Reza.
Misalnya, kata dia, ada sentimen negatif baik itu dari kebijakan industri maupun dari kebijakan Bank Indonesia (BI) yang justru berpengaruh negatif pada saham-saham pembiayaan. "Tapi, jika ada sentimen positif seperti berasal dari kinerja emiten yang mengalami kenaikan, belum tentu saham pembiayaan tersebut bisa terkerek naik juga," tuturnya.
Padahal, dilihat dari sisi Price to Earnings Ratio (PER)-nya secara total rata-rata masih di level 11 kali. Posisi ini menunjukkan, perbandingan antara harga saham dengan kinerja keuangan (earnings per share-nya) secara total sebenarnya masih memberikan imbal hasil kepada para pemegang sahamnya. "Retrun-nya mencapai 11 kali," tandas Reza.
Apalagi, jika dibandingkan dengan industri keuangan secara keseluruhan, sektor keuangan lebih tinggi di level 16 kali. "Jadi, saham-saham sektor pembiayaan dari sisi PER masih di bawah industri keuangan. Akan tetapi, harga sahamnya tampak belum memiliki trigger sehingga tidak aktif diperdagangkan," imbuh Reza.