Jakarta -Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih cenderung melemah hingga mendekati level Rp 12.000. Salah satu faktor pendorongnya tak lain karena pasar masih menunggu siapa pemenang pemilihan presiden (pilpres) 9 Juli mendatang.
Sebagian kalangan menilai, pelemahan rupiah terjadi karena sulit memprediksi siapa yang akan menang dalam pilpres. Apakah Joko Widodo-Jusuf Kalla atau Prabowo Subianto-Hatta Rajasa?
"Pasar memang masih menunggu siapa pemenang dari 2 pasangan capres- cawapres itu," kata Analis Rupiah Suluh Adil Wicaksono saat dihubungi detikFinance, Rabu (4/6/2014).
Suluh menjelaskan, proses politik seperti pilpres memang sulit ditebak sehingga kepastian pergerakan rupiah pun sulit diprediksi. Namun, wajar jika pergerakan mata uang dalam pesta demokrasi bergerak fluktuatif bahkan cenderung melemah. Investor lebih memilih melepas rupiah dan memegang dolar demi keamanan.
"Sebelumnya Prabowo disebut anti AS, tapi faktanya tidak. Pemilu sulit ditebak, termasuk arah rupiah. Saat ini pada nggak mau pegang rupiah. Di negara mana pun itu hal wajar ketika terjadi proses politik seperti pemilu mereka melepas mata uangnya. Saat ini dolar dinilai sebagai safe haven, aman pegang itu," terangnya.
Melihat hal tersebut, Suluh menilai kemungkinan dolar akan bergerak di kisaran Rp 12.000 jika kedua kubu saling menjatuhkan atau melakukan kampanye hitam (black campaign). Bahkan, ada potensi dana asing sebesar US$ 30 juta akan keluar dari pasar modal jika pilpres tidak berjalan kondusif.
"Jadi ada kemungkinan mengarah ke angka Rp 12.000 per dolar AS. Angka ini terjadi jika pasangan kedua kubu capres saling menjatuhkan, melakukan black campaign. Rupiah, IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan), akan berdampak jika kampanye tidak berjalan lancar. Bahkan US$ 30 juta dan asing bisa keluar jika pemilu tidak kondusif," papar Suluh.
Suluh menambahkan, kedua pasangan capres-cawapres ini bisa menjadi sentimen negatif jika tidak berpihak pada pasar keuangan. "Tapi sekarang ternyata dua-duanya direspon positif," ujarnya.
Selain dinamika politik, demikian Suluh, data-data ekonomi yang dirilis juga menjadi faktor yang membuat rupiah melemah. "Pemerintah saja nggak berani mengambil kebijakan strategis, jadi semua masih wait and see. Rupiah seakan sengaja dibiarkan floating bebas," tegasnya.
Suluh memperkirakan dolar punya peluang untuk menguat hingga di kisaran Rp 12.000. Namun nantinya ada peluang perbaikan pasca pilpres.
"Nantinya setelah pilpres rupiah bisa menguat ke Rp 11.500 per dolar AS. Tentunya jika presiden terpilih merupakan pilihan pasar," ucapnya. (detik.com)