korea by dewanti

Tuesday, December 24, 2013

Keluar dari Saham Masuk Dolar AS!

INILAH.COM, Jakarta – Para pemodal di bursa saham disarankan menjual sahamnya dan beralih ke pasar uang dengan membeli dolar AS. Sebab, rupiah ditengarai bakal melemah ke 13.000-14.000 per dolar AS.
Menurut pengamat pasar modal Irwan Ibrahim, pelemahan nilai tukar rupiah dipicu oleh faktor besarnya utang Indonesia. Jika ditarik ke tahun 2020, utang RI bisa mencapai Rp3.200-an triliun dari saat ini Rp2.600-an triliun. Investor dan fund manager jangka panjang juga akan lari. Khawatir, fundamental sahamnya terganggu.
"Rupiah akan membaik jika suku bunga dinaikkan. BI enggan menaikan BI rate awal Desember dari 7,5% sementara inflasi terus merambat naik. Timbullah keragu-raguan di pasar," katanya kepada INILAH.COM.
Pada perdagangan Senin (23/12/2013) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG ) ditutup melemah tipis 5,95 poin (0,14%) ke posisi 4.189,608. Intraday terendah 4.154,117 dan tertinggi 4.205,185.
Volume perdagangan naik dan nilai total transaksi turun. Investor asing mencatatkan net sell dengan penurunan nilai transaksi beli dan transaksi jual. Investor domestik mencatatkan net buy. Berikut ini wawancara lengkapnya:
 
Mengawali pekan jelang libur Natal 2013, IHSG melemah 0,14%. Bagaimana Anda melihat arahnya hingga tutup 2013?
Hingga tutup 2013, IHSG dihantui sentimen negatif. Pertama, faktor rencana The Fed untuk mengurangi pembelian obligasi atau aset-aset finansial di AS per Januari 2014 sebesar US$10 miliar dari US$85 miliar menjadi US$75 miliar. Masalahnya, pasar belum tahu apakah sepanjang tahun akan dikurangi sebesar US$10 miliar atau penarikan stimulus akan lebih besar pada 2014.
Sebab, defisit APBN AS akan terus berlanjut. Begitu juga dengan defisit neraca perdagangannya. Menurut saya, AS mau tidak mau harus mengurangi pembelian asetnya lebih banyak lagi menjadi US$20 miliar pada 2014 yang bisa jadi efektif Juni 2014. Jadi, bukan hanya US$10 miliar seperti yang direncanakan.
 
Apa efek yang ditimbulkannya?
Akibatnya, akan terjadi kenaikan tingkat suku bunga di AS. Defisit anggaran AS besar dengan utang besar di atas US$17,2 triliun. Faktor utang yang semakin membengkak, defisit anggaran dan perdagangan akan memaksa The Fed untuk menaikkan tingkat suku bunga acuannya dari level saat ini 0-0,25%.
 
Bukankan data AS menunjukkan pemulihan ekonomi AS yang justru mendorong The Fed mengeluarkan kebijakan tapering per Januari itu?
Bagaimana ekonomi AS bisa dikatakan pulih, toh terus defisit. Secara structural memang pulih, tapi secara operasional terus defisit. Bursa saham AS pun akan turun dan berpengaruh pada bursa saham Asia termasuk IHSG.
Pertama-tama hantaman terjadi di pasar uang di mana dolar AS menguat terhadap euro dan yen. Baru pertama kali dolar AS menguat ke 104 yen per dolar AS mendekati 105 yen. Pasar khawatir, yen kembali anjlok ke 107 yang menimbulan kepanikan di pasar Asia dan berdampak negatif pula ke ekuiti atau saham.
 
Bagaimana dengan faktor dalam negeri?
Sementara itu, dari dalam negeri tak ada lagi sentimen positif. Pasar dihantui oleh potensi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi pada anggaran 2014 yang saat ini sedang dibahas. Jika pertengahan Januari 2014, APBN sudah keluar, harga BBM berpeluang kembali naik ke Rp8.000 per liter untuk mengurangi subsidi.
Jadi, kita juga mengalami hal sama dengan AS dengan utang kita mencapai Rp2.600 triliun, defisit neraca dagang, dan defisit anggaran. Akibatnya, mau tidak mau subsidi BBM harus dikurangi karena defisit anggaran mencapai Rp224 triliun pada 2013. Pada 2014 pun tidak akan jauh beda. BBM naik, inflasi naik, suku bunga juga naik.
 
Lantas, proyeksi Anda IHSG hingga akhir tahun?
Dalam sepekan ke depan, IHSG akan menguji level psikologis 4.000 terlebih dahulu. Jika tembus ke bawah, target IHSG akhir 2013 di 3.700. Di sisi lain, resistance indeks di 4.200. Saham-saham besar seperti PT Astra International (ASII), PT Gudang Garam (GGRM), PT HM Sampoerna (HMSP), PT Indocement Tunggal Prakarsa (INTP), PT Semen Indonesia (SMGR) akan mengalami tekanan jual.
Begitu juga dengan saham-saham pertambangan seperti PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA), PT Vale Indonesia (INCO), dan PT Perusahaan Gas Negara (PGAS). Saham-saham tersebut dihantui kenaikan harga BBM dan tingkat suku bunga.
 
Dalam situasi ini, apa saran Anda untuk para pemodal di bursa saham?
Saya sarankan keluar dulu dari bursa saham dan masuk ke dolar AS. Sebab, rupiah masih potensial melemah ke 13.000 hingga 14.000 per dolar AS, karena faktor-faktor baik dari eksternal maupun internal tadi yang saya sebutkan.
Pelemahan rupiah, karena faktor besarnya utang Indonesia. Jika ditarik ke tahun 2020, utang RI bisa mencapai Rp3.200-an triliun dari saat ini Rp2.600-an triliun. Investor dan fund manager jangka panjang juga akan lari. Khawatir, fundamental sahamnya terganggu.
Rupiah akan membaik jika suku bunga dinaikkan. BI enggan menaikan BI rate awal Desember dari 7,5% sementara inflasi terus merambat naik. Timbullah keragu-raguan di pasar. Inilah yang jadi alasan bagi asing, setiap kali saham diangkat, dia langsung jual. Sebab, pemain lokal sudah tidak berani masuk lagi. Investor ritel mengikuti pasar, jika tidak profit taking ya cut loss dengan pola permainan cepat.