Jakarta - Setelah pemerintah Amerika Serikat berhenti beroperasi, kini ada ancaman lain. Pemerintah Amerika Serikat terancam tak bisa membayar utangnya, setelah antara pemerintah dan kongres tak tercapai kesepakatan soal anggaran.
Kamis besok adalah deadline bagi negara itu untuk menentukan nasib pembayaran utangnya. Kalau gagal juga, sejumlah ekonom menilai dampaknya akan dirasakan oleh perekonomian global. Seberapa besar kemungkinan Amerika bakal default alias gagal bayar utang?
Sejumlah ekonom memiliki pendapat berbeda. Ada yang cemas tapi ada juga yang optimistis bahwa pemerintah dan kongres akan mencapai kata sepakat.
"Ini adalah drama yang buruk, kongres seakan-akan menyandera ekonomi. Kami perkirakan akan terjadi aksi jual saham dalam beberapa hari ke depan," ucap Sharon Lee Stark, analis D.A. Davidson & Co kepada kantor berita Reuters.
Stark bilang aksi jual tidak hanya terjadi di pasar saham tetapi juga obligasi. Investor cenderung memikirkan skenario terburuk dan menghindari risiko. "Ini karena pemerintah tidak bisa mengatasi keadaan," tegasnya.
Stark menilai kemungkinan gagal bayar utang cukup besar jika kubu Partai Republik tetap ngotot dengan sikapnya menolak program jaminan kesehatan alias Obama Care dan kenaikan batas utang. "Saya tidak bisa membayangkan dampaknya terhadap ekonomi dan pasar finansial global jika ini terjadi," ujarnya.
Namun masih ada yang berpikir positif. Perusahaan keuangan Nomura dalam risetnya meyakini bahwa pemerintah dan Kongres AS akan melahirkan kompromi mendekati tenggat waktu 17 Oktober. Last-minute deal ini mampu menghindarkan AS dari default.
"Kemungkinan besar akan ada solusi sebelum 17 Oktober. Atau setidaknya akan ada pernyataan pada 17 Oktober," sebut Nomura dalam risetnya.
Meski demikian, Nomura juga menyebutkan ada risiko jika ternyata tidak ada kesepakatan pada 17 Oktober. "Biaya dana di pasar modal akan meroket. Aset-aset yang dinilai berisiko akan mengalami tekanan yang lebih signifikan," katanya.
Dari dalam negeri, Lana Soelistianingsih, Kepala Ekonom Samuel Sekuritas, menilai jika AS benar-benar mengalami default maka dampaknya akan lebih besar dari krisis keuangan global 2008. Pada 2008, yang bermasalah adalah level perusahaan tetapi ini adalah masalah tingkat negara.
"Kepercayaan terhadap negara akan turun, karena negara seperti AS saja bisa default. Selama ini mereka belum pernah sampai default," kata Lana.
Namun, Lana memperkirakan peluang AS mengalami default sangat kecil. Dia optimistis akan ada kesepakatan antara pemerintah dan Kongres AS seputar anggaran yang baru. Sangat tidak rasional apabila kubu Partai Republik membiarkan citra negaranya jatuh sehingga nantinya akan ada kompromi.
Mirza Adityaswara, Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, juga menilai kecil kemungkinan AS bakal default. "Saya rasa konsensus di pasar adalah bahwa di detik-detik terakhir akan ada kesepakatan. Jadi kita harus optimistis," tegasnya.
Sampai saat ini, Mirza juga belum melihat adanya gonjang-ganjing akibat potensi default di AS. "Yield (imbal hasil) surat utang AS stabil. Kalau yield surat utang AS meningkat, itu baru ada kekhawatiran," katanya.