Jakarta -PT Pertamina (Persero) mengaku terus merugi triliunan rupiah karena menjual murah elpiji 12 kg di bawah harga pasar. Bahkan bila harga harga elpiji 12 kg naik Rp 47.000 per tabung, Pertamina tetap rugi sekitar Rp 2,1 triliun/tahun. Apa alasan kerugian ini?
Berdasarkan data Pertamina, sejak 2007 pemerintah menggulirkan program konversi minyak tanah ke elpiji dengan tujuan mengubah pengguna minyak tanah yang mayoritas merupakan kalangan ekonomi lemah, menjadi pengguna elpiji.
"Pemerintah memperhitungkan akan mendapat penghematan dari sisi subsidi. Elpiji untuk rumah tangga selama ini dikemas dalam 12 kg dibuat dalam kemasan yang lebih kecil 3 kg dengan pemberian subsidi," tulis data Pertamina yang dikutip detikFinance, Senin (6/1/2014).
Selama 6 tahun atau sejak 2008-2013, bisnis elpiji tabung 12 kg tercatat menyumbang kerugian hingga Rp 22 triliun. "Hal ini disebabkan oleh elpiji 12 kg yang sedianya diperuntukkan untuk masyarakat menengah ke atas harus dijual di bawah harga keekonominnya (harga pasar)," tulis data Pertamina.
Harga keekonomian elpiji 12 kg di 2013 lalu mencapai Rp 10.785 per kg, sementara pendapatan bersih Pertamina hanya sekitar Rp 4.944 per kg.
"Dengan konsumsi elpiji di 2013 sekitar 977 metrik ton (MT), diperkirakan tahun 2013 kerugian dari bisnis elpiji 12 kg mencapai Rp 5,7 triliun," tulis data Pertamina lagi.
Bila mau untung, Pertamina saat ini harus menjual elpiji 12 kg seharga Rp 150 ribu, dari harga saat ini sekitar Rp 75 ribu-Rp 78 ribu per tabung.
"Dengan kondisi rupiah terus melemah terhadap dolar AS, di mana saat ini kurs telah mencapai Rp 12.000, jika kondisi ini terus berlanjut diperkirakan kerugian elpiji 12 kg pada 2014, jika tidak ada kenaikan harga akan mencapai Rp 7 triliun," kata Pertamina.
Tingginya biaya produksi elpiji ini tidak lepas dari harga bahan baku elpiji, di mana harga perolehannya mengacu pada harga CP Aramco (contract price Aramco). Komponen harga bahan baku mencapai 80-85% dari pembentuk harga elpiji, sementara biaya lainnya merupakan biaya penyimpanan dan pendistribusian yang meliputi biaya pengapalan, penyimpanan di depo elpiji, pengangkutan menuju stasiun pengisian, biaya pengisian elpiji ke tabung, serta biaya perawatan tabung.
"Bahan baku elpiji berasal dari kilang Pertamina sebanyak 12%, produksi KKKS (perusaaan migas di Indonesia) atau kilang swasta sebanyak 29% sisanya 59% dari impor. Porsi impor semakin besar dari tahun ke tahun, yang disebabkan oleh produksi dalam negeri yang belum dapat mengejar jumlah permintaan," tulis data Pertamina. (detik.com)