korea by dewanti

Tuesday, December 17, 2013

Gara-gara Rupiah, Lupakan Bullishnya Saham!

INILAH.COM, Jakarta – Pelemahan nilai tukar rupiah diprediksi menuju titik terendahnya 12 tahun silam 12.200 per dolar AS. Karena itu, lupakan bullish-nya saham!
David Cornelis, kepala riset KSK Financial Group mengatakan, di akhir tahun 2013, Indonesia kehilangan momentum ekonomi. Kondisi itu melumpuhkan IHSG yang hapuskan harapan kembali ke level 5.000 dan hilangkan target ke 4.500 akhir 2013 ini.
"Lupakan bullish-nya saham, sejalan rupiah yang niscaya menuju titik terendahnya ke 12.200 per dolar AS, posisi April 12 tahun silam," katanya kepada INILAH.COM.
Dia memperkirakan, rupiah akan bergerak di atas 12.000 untuk waktu yang cukup lama. Bahkan, ada potensi untuk tes titik terendahnya balik ke Desember 2008 di 12.550. "Atau, malah melemah ke level November 2008 di posisi 13.000," timpal dia.
David menjelaskan, pergeseran pola perkembangan ekonomi dan keuangan global telah terjadi. Hal ini ditandai dengan melambatnya ekonomi negara berkembang karena jatuh terperangkap sebagai negara berpendapatan menengah di saat ekonomi sudah semakin liberal.
"Di lain sisi, sudah mulai bangkitnya ekonomi negara maju, di samping belum ada kesesuaian antara perilaku mikro dengan fenomena makro," ujarnya.
Secara teoritis (selisih inflasi dan bunga antara Indonesia dan AS), rupiah wajar bila terkoreksi sekitar 6% ke level 10.350. Adapun pelemahan tahun ini sudah mencapai seperempat nilainya, jauh melemah di atas target APBN-P 2013. "Sensitivitasnya pelemahan rupiah 10% akan menaikkan inflasi sebesar 0,8%," ungkap David.
Pelemahan rupiah, kata dia, adalah refleksi buruknya agregasi daya saing Indonesia. Ini tercermin dari kurs efektif riil rupiah yang sudah terdepresiasi jauh ke level terendahnya sejak medio 2003. Rupiah tertekan oleh defisit seiring naiknya harga minyak dan kaburnya dana asing sebesar Rp15,3 triliun karena makro ekonomi yang kurang menjanjikan.
"Sementara itu, soal tapering dari AS menjadi pengalihan kambing hitam saja. Ada yang lebih krusial dari sekadar tapering, yaitu debt ceiling di Februari 2014 serta kenaikan Fed Funds Rate di 2015," ucapnya.
Tahun 2012, Indonesia mengalami defisit perdagangan untuk pertama kalinya dalam sejarah sejak 1961, mencapai US$1,6 miliar. Sayangnya juga, 69% impor adalah bahan baku, mungkin itulah yang dimaksud dalam Pidato Kenegaraan Presiden di Agustus lalu sebagai "Keep Buying Strategy" (tetap beli impor).
"Seketika itu juga di pasar saham (terjadi Keep Selling Strategy) yang berujung hingga akhir bulan itu IHSG terperosok 18% ke level terendahnya tahun ini di 3.837," tuturnya.
Defisit terjadi akibat mengabaikan industrialisasi dan meremehkan infrastruktur industri hulu, terlalu fokus pada hilir. Target pemerintah tentang inflasi meleset dari 5%, begitu juga dengan target rupiah pun melenceng dari asumsi Rp 9.600 (nilai rata-rata sejak era milenium).
Dia menegaskan, konsekuensi kenaikan BI Rate adalah melambatnya laju pertumbuhan ekonomi. Lapangan kerja tidak tersedia jika pertumbuhan di bawah 6%, yang ada malah sebaliknya yaitu bertambahnya pengangguran.
"Bukanlah langkah yang bijak mengerem investasi dan pertumbuhan ekonomi untuk urusan defisit transaksi berjalan, karena akan memukul sektor riil. Tahun depan, BI Rate masih berpeluang naik lagi, paling sedikit 50 basis poins," imbuhnya.